Ditengah perselisihan antara Polri dan KPK kini bertiup angin
segar dalam upaya memerangi korupsi. NU mengajak masyarakat untuk
mempertimbangkan kembali kewajiban membayar pajak. Meski terkesan sangat
retoris dan berbau angin surga, tapi keputusan Munas Alim Ulama dan Konferensi
besar NU di Palimanan Cirebon ini patut mendapat dukungan masyarakat. Kini
masyarakat telah berada dititik jenuh dengan janji-janji pemerintah tentang
pembrantasan korupsi. Ucapan presiden SBY bahwa rekomendasi hasil munas NU sama
dengan apa yang telah, sedang dan akan dilaksanakan pemerintah dalam
pembrantasan korupsi menunjukkan bahwa presiden hanya menyanyikan lagu lama
saja. Sejak presiden SBY memimpin tampuk pemerintahan di negeri ini tindak
korupsi semakin merajalela, seolah tiada hari tanpa berita korupsi meski usaha
pembrantasan telah dilaksanakan cukup gencar, ada pertanyaan yang menggelitik
dihati masyarakat, mengapa korupsi tak bisa lenyap dari bumi pertiwi ini, apa
yang salah?. Bukan salah hakim kalau para pengetuk palu keadilan ini memberi
ganjaran hukuman yang ringan bahkan sering kali membebaskan para koruptor. Para hakim hanya melihat fakta persidangan, mereka bukan
makhluk suci. Bukan juga salah para jaksa kalau mereka menuntut para koruptor
dengan tuntutan yang ringan-ringan saja. Para
jaksa juga manusia biasa yang tak kebal akan godaan suap. Jangan salahkan
polisi kalau mereka juga tak bisa kerja maksimal, mereka adalah pengayom
masyarakat yang juga sering “mengayomi” para koruptor dan pencoleng. Kini
kesadaran masyarakat telah bangkit, melalui LSM yang didirikan mereka berjuang
melawan tindak korupsi. Mereka menyelidiki, mencari bukti dan melaporkan tindak
penyelewengan yang dikerjakan secara canggih. Ada
korupsi yang berbalut susutante (sumbangan sukarela tanpa tekanan), ada korupsi
yang berkedok Koperasi (pembelian buku, seragam murid/guru sekolah), ada
korupsi dengan dalih mempercepat pelayanan masyarakat (pembuatan KTP/SIM, surat ijin dll). Ada korupsi berwujud suap
untuk mendapatkan proyek. Usaha-usaha memerangi korupsi yang dilakukan para
pegiat LSM ini hanya membrantas koruptor-koruptor kelas teri, sedang para
koruptor kelas kakap tak tersentuh hukum. Meski kiprah KPK sebagai lembaga
superbodi dalam pembrantasan korupsi patut kita acungi jempol, namun
usaha-usaha untuk melemahkan kemampuan dan kewenangan KPK tak berhenti juga,
sehingga masyarakat juga tak bisa berharap terlalu besar dari peran KPK dalam
membrantas korupsi.
Langkah nyata
Kini perlu
langkah nyata, sebelumnya para pemimpin ormas keagamaan yang ada di Indonesia
juga pernah menyerukan tentang sangsi moral bagi para koruptor tapi hasilnya
bisa kita pertanyakan, manjurkah seruannya?. Dirjen Pajak lembaga yang mempunyai kwajiban mengumpulkan dana untuk pemba ngunan dan memakmurkan
rakyat justru menjadi sarang para koruptor. Kini saatnya masyarakat mengambil
peran masing-masing dalam memerangi tindak korupsi. Sudah saatnya kwajiban
membayar pajak dikenakan dulu kepada perusahaan-perusahaan baik besar maupun
kecil, merekalah kelompok penikmat kesuburan dan kekayaan bumi dan laut Indonesia
dan bukan dikenakan kepada rakyat perorangan. Masih banyak perusahaan besar
yang belum membayar pajak sesuai dengan ketentuan, inilah yang perlu
dimaksimalkan penarikannya. Fungsi pajak sebagai pemerata kemakmuran bagi
seluruh rakyat Indonesia
perlu ditingkatkan. Tidak selayaknya rakyat kecil yang mempunyai sejengkal
tanah dan sepetak rumah dikenai pajak bumi dan bangunan (PBB), tidak selayaknya
rakyat kecil yang punya kendaraan sepeda motor sebagai sarana transportasi
dikenai Pajak kendaraan seperti yang selama ini mereka bayar.
Kerakusan.
Pemerintah harus
menghentikan kerakusan dalam menarik pajak. Rakyat selama ini seperti hidup
dibawah kekuasaan penjajah, segala sesuatu sampai hal-hal sepele dikenakan
pajak, sedangkan hak-hak rakyat yang paling pokok dan mendasar seperti
mendapatkan pelayanan pendidikan, perawatan kesehatan dan perumahan layak
terabaikan. Masih banyak kita saksikan orang-orang terlantar dijalanan, masih
banyak rakyat hidup dibawah garis kemiskinan, lalu timbul pertanyaan kemana
larinya uang pajak yang disetor rakyat?. Tidak mengherankan rekomendasi yang
disampaikan oleh Munas Alim Ulama dan Konferensi besar NU, kali ini terasa
sangat keras meski belum terbukti langkah konkritnya. Sebagai ormas keagamaan
yang menaungi jutaan jamaahnya yang sebagian besar hidup dipedesaan, dan
rata-rata hidup dibawah garis kemiskinan, NU harus berani berbuat nyata,
anjurkan para warganya untuk kali pertama tidak membayar/menunda dulu pembayaran
pajak PBB dan pajak kendaraan. Ini hanya sebagai langkah awal dimana dua (2)
jenis pajak ini secara mudah bisa dilakukan warganya. Anjuran ini hanya untuk
warga NU saja, tapi apabila ada warga negara lain yang mau mengikuti anjuran NU
juga akan lebih baik. Langkah selanjutnya uang pajak bisa dikumpulkan untuk
membangun jalan atau jembatan yang sangat dibutuhkan rakyat. Ini bentuk
tamparan kepada pemerintah dan bukan pembangkangan sipil.
APBN
APBN dari tahun
ketahun selalu meningkat jumlahnya, tapi kemakmuran rakyat tidak pernah
terwujud. Yang terjadi hanyalah kesenjangan yang semakin melebar, yang kaya
semakin kaya dan yang miskin malah terus bertambah jumlahnya. Sudah semestinya
pemerintah menyadari rekomendasi NU, APBN cukup seperti tahun lalu saja kalaupun
toh bisa ditingkatkan haruslah dari sumber-sumber penerimaan pajak yang ditarik
dari perusahaan-perusahaan besar. Himbauan ormas keagamaan NU pasti akan
diikuti oleh ormas yang lain karena mereka merasakan hal yang sama dalam
melihat dan menilai kinerja pemerintah dalam membrantas korupsi. Perubahan
sikap pemerintah sangat ditunggu oleh rakyat meski dengan rasa pesimistis.
Langkah kecil NU ini akan bisa menjadikan pemerintah kerepotan dalam mengelola
negara, atau pemerintah masih ingin membuktikan pembangkangan sipil yang
semakin besar?. Semoga saja rakyat masih bisa merasakan hidup makmur
dinegaranya yang gemah ripah loh jinawi ini.