Senin, 15 Oktober 2012

Gebrakan NU Untuk Pembrantasan Korupsi

Ditengah perselisihan antara Polri dan KPK kini bertiup angin segar dalam upaya memerangi korupsi. NU mengajak masyarakat untuk mempertimbangkan kembali kewajiban membayar pajak. Meski terkesan sangat retoris dan berbau angin surga, tapi keputusan Munas Alim Ulama dan Konferensi besar NU di Palimanan Cirebon ini patut mendapat dukungan masyarakat. Kini masyarakat telah berada dititik jenuh dengan janji-janji pemerintah tentang pembrantasan korupsi. Ucapan presiden SBY bahwa rekomendasi hasil munas NU sama dengan apa yang telah, sedang dan akan dilaksanakan pemerintah dalam pembrantasan korupsi menunjukkan bahwa presiden hanya menyanyikan lagu lama saja. Sejak presiden SBY memimpin tampuk pemerintahan di negeri ini tindak korupsi semakin merajalela, seolah tiada hari tanpa berita korupsi meski usaha pembrantasan telah dilaksanakan cukup gencar, ada pertanyaan yang menggelitik dihati masyarakat, mengapa korupsi tak bisa lenyap dari bumi pertiwi ini, apa yang salah?. Bukan salah hakim kalau para pengetuk palu keadilan ini memberi ganjaran hukuman yang ringan bahkan sering kali membebaskan para koruptor. Para hakim hanya melihat fakta persidangan, mereka bukan makhluk suci. Bukan juga salah para jaksa kalau mereka menuntut para koruptor dengan tuntutan yang ringan-ringan saja. Para jaksa juga manusia biasa yang tak kebal akan godaan suap. Jangan salahkan polisi kalau mereka juga tak bisa kerja maksimal, mereka adalah pengayom masyarakat yang juga sering “mengayomi” para koruptor dan pencoleng. Kini kesadaran masyarakat telah bangkit, melalui LSM yang didirikan mereka berjuang melawan tindak korupsi. Mereka menyelidiki, mencari bukti dan melaporkan tindak penyelewengan yang dikerjakan secara canggih. Ada korupsi yang berbalut susutante (sumbangan sukarela tanpa tekanan), ada korupsi yang berkedok Koperasi (pembelian buku, seragam murid/guru sekolah), ada korupsi dengan dalih mempercepat pelayanan masyarakat (pembuatan KTP/SIM, surat ijin dll). Ada korupsi berwujud suap untuk mendapatkan proyek. Usaha-usaha memerangi korupsi yang dilakukan para pegiat LSM ini hanya membrantas koruptor-koruptor kelas teri, sedang para koruptor kelas kakap tak tersentuh hukum. Meski kiprah KPK sebagai lembaga superbodi dalam pembrantasan korupsi patut kita acungi jempol, namun usaha-usaha untuk melemahkan kemampuan dan kewenangan KPK tak berhenti juga, sehingga masyarakat juga tak bisa berharap terlalu besar dari peran KPK dalam membrantas korupsi.
Langkah nyata
Kini perlu langkah nyata, sebelumnya para pemimpin ormas keagamaan yang ada di Indonesia juga pernah menyerukan tentang sangsi moral bagi para koruptor tapi hasilnya bisa kita pertanyakan, manjurkah seruannya?. Dirjen Pajak lembaga  yang mempunyai kwajiban mengumpulkan  dana untuk pemba ngunan dan memakmurkan rakyat justru menjadi sarang para koruptor. Kini saatnya masyarakat mengambil peran masing-masing dalam memerangi tindak korupsi. Sudah saatnya kwajiban membayar pajak dikenakan dulu kepada perusahaan-perusahaan baik besar maupun kecil, merekalah kelompok penikmat kesuburan dan kekayaan bumi dan laut Indonesia dan bukan dikenakan kepada rakyat perorangan. Masih banyak perusahaan besar yang belum membayar pajak sesuai dengan ketentuan, inilah yang perlu dimaksimalkan penarikannya. Fungsi pajak sebagai pemerata kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia perlu ditingkatkan. Tidak selayaknya rakyat kecil yang mempunyai sejengkal tanah dan sepetak rumah dikenai pajak bumi dan bangunan (PBB), tidak selayaknya rakyat kecil yang punya kendaraan sepeda motor sebagai sarana transportasi dikenai Pajak kendaraan seperti yang selama ini mereka bayar.
Kerakusan.
Pemerintah harus menghentikan kerakusan dalam menarik pajak. Rakyat selama ini seperti hidup dibawah kekuasaan penjajah, segala sesuatu sampai hal-hal sepele dikenakan pajak, sedangkan hak-hak rakyat yang paling pokok dan mendasar seperti mendapatkan pelayanan pendidikan, perawatan kesehatan dan perumahan layak terabaikan. Masih banyak kita saksikan orang-orang terlantar dijalanan, masih banyak rakyat hidup dibawah garis kemiskinan, lalu timbul pertanyaan kemana larinya uang pajak yang disetor rakyat?. Tidak mengherankan rekomendasi yang disampaikan oleh Munas Alim Ulama dan Konferensi besar NU, kali ini terasa sangat keras meski belum terbukti langkah konkritnya. Sebagai ormas keagamaan yang menaungi jutaan jamaahnya yang sebagian besar hidup dipedesaan, dan rata-rata hidup dibawah garis kemiskinan, NU harus berani berbuat nyata, anjurkan para warganya untuk kali pertama tidak membayar/menunda dulu pembayaran pajak PBB dan pajak kendaraan. Ini hanya sebagai langkah awal dimana dua (2) jenis pajak ini secara mudah bisa dilakukan warganya. Anjuran ini hanya untuk warga NU saja, tapi apabila ada warga negara lain yang mau mengikuti anjuran NU juga akan lebih baik. Langkah selanjutnya uang pajak bisa dikumpulkan untuk membangun jalan atau jembatan yang sangat dibutuhkan rakyat. Ini bentuk tamparan kepada pemerintah dan bukan pembangkangan sipil.
APBN
APBN dari tahun ketahun selalu meningkat jumlahnya, tapi kemakmuran rakyat tidak pernah terwujud. Yang terjadi hanyalah kesenjangan yang semakin melebar, yang kaya semakin kaya dan yang miskin malah terus bertambah jumlahnya. Sudah semestinya pemerintah menyadari rekomendasi NU, APBN cukup seperti tahun lalu saja kalaupun toh bisa ditingkatkan haruslah dari sumber-sumber penerimaan pajak yang ditarik dari perusahaan-perusahaan besar. Himbauan ormas keagamaan NU pasti akan diikuti oleh ormas yang lain karena mereka merasakan hal yang sama dalam melihat dan menilai kinerja pemerintah dalam membrantas korupsi. Perubahan sikap pemerintah sangat ditunggu oleh rakyat meski dengan rasa pesimistis. Langkah kecil NU ini akan bisa menjadikan pemerintah kerepotan dalam mengelola negara, atau pemerintah masih ingin membuktikan pembangkangan sipil yang semakin besar?. Semoga saja rakyat masih bisa merasakan hidup makmur dinegaranya yang gemah ripah loh jinawi ini.