“Alhamdulillah, akhirnya pemerintah mau memper hatikan wong cilik”,
demikian sepotong kalimat dari pak Kromo yang berprofesi sebagai penarik becak
di pasar, begitu juga wajah mbok Tinem janda tua buruh cuci dan tenaga srabutan dikampung saya kelihatan lebih semringah ketika mendapat kabar
pemerintah akan menaikan harga BBM pada 1 April 2012 tapi juga akan membagikan
BLSM bagi warga miskin. Saya sangat terkejut mendengar komentarnya, karena
selama ini hampir semua orang mengeluh ketika harga BBM dinaikan bahkan
kalangan mahasiswa dan kelompok masyarakat lain menggelar demo besar-besaran
akan mengepung istana, didaerah bahkan mobil tanki pembawa BBM disandra. Bagi
pak Kromo dan mbok Tinem serta orang sederajat lainnya kehadiran bantuan langsung
sementara masyarakat(BLSM) sangat diharapkan, dana yang diambil dari
pengurangan subsidi BBM ini bagai durian
runtuh saja meski mereka mendapat jumlah uang dengan nominal yang tak seberapa
serta jangka waktu terbatas itu sudah dianggap sangat tepat karena subsidi
harga BBM seharusnya dikurangi bahkan dicabut saja karena hanya membebani APBN
dan yang menjadi sasaran bantuan justru
orang kaya yang punya mobil atau motor. Subsidi BBM dalam APBN kita dari tahun
ketahun terus meningkat tajam seiring kemampuan warga untuk membeli mobil dan
motor baik secara tunai maupun kredit. Untuk tahun 2012(RAPBNP) subsidi BBM mencapai
Rp.137,38 triliun. Kita tengok saja jalan yang semakin padat dengan jumlah
mobil pribadi dan motor baru aneka merek, mereka telah mampu membeli motor
bahkan mobil sehingga mereka masuk golongan orang yang sudah kaya yang
seharusnya tidak perlu diberi subsidi untuk membeli BBM. Bagi masyarakat miskin
di Indonesia yang jumlahnya masih sekitar 32,53 juta orang atau hampir 15% yang
tersebar dipelosok desa dan pinggiran kota-kota besar tak pernah ikut demo,
karena harga BBM seberapa besarpun mereka tak pernah peduli, mereka tidak
pernah tau dan tak pernah mengurusi apa itu subsidi harga BBM, yang mereka
pikirkan hanya bagaimana esok bisa dapat kerja dan bisa makan sekeluarga. Bagi
para penentang kibijakan pemerintah, setiap kenaikan harga BBM menjadi bahan
untuk menyerang pemerintah bahkan kalau mungkin menjatuhkan pemerintah yang
sedang berkuasa. Dengan dalih bermacam-macam mereka menentang karena kepen tingannya
terganggu.
Coba kita renungkan dalam hati akibat dari kebijakan
pemberian subsidi harga BBM yang hampir tidak terkendali ini. Pertama, APBN
kita jadi tidak sehat, anggaran yang semestinya bisa digunakan untuk meningkatkan
kesejahteraan orang miskin, membiayai kesehatan rakyat serta membangun infra
struktur terpotong habis sehingga ketimpangan kemakmuran warga semakin lama
semakin besar, ini tidaklah sehat bagi negara yang menganut dasar keadilan bagi
seluruh rakyatnya. Kita runut saja sejarah masa lalu, berbagai macam konflik
horisontal sering terjadi disebabkan kesenjangan kemakmuran meski sumbu
ledaknya masalah SARA. Kedua, polusi udara di kota sangat tinggi melebihi ambang batas
toleransi karena jumlah pertumbuhan kendaraan bermotor yang sangat cepat, serta polutan dari industri yang
kurang terkontrol, ini tidak baik bagi kesehatan seluruh warga tanpa pandang
bulu kaya atau miskin. Ketiga, Kemacetan lalu lintas disana sini, bukan hanya
di Jakarta, Surabaya dan kota-kota besar lainnya, di Solo saja sudah kita
rasakan kemacetan lalu lintas, mereka beranggapan lebih enak bawa mobil atau
motor pribadi selain enak tentu saja irit biaya BBMnya, meski kondisi angkutan
umum juga menjadi faktor penyebabnya, belum terhitung korban jiwa dari adanya
manajemen lalu lintas yang masih belum baik apalagi kondisi jalan semakin
terbengkalai. Keempat, kebijakan pemerintah yang belum mengatur besaran
kapasitas mesin(cc) mobil dan motor menyumbang andil yang tidak kecil dalam
konsumsi BBM. Sekarang industri mobil dan motor selalu mengeluarkan kendaraan
jenis baru yang ber cc besar. Kelima, pemberian subsidi BBM menjadi sumber
penyelewengan untuk diekspor lagi keluar negeri karena harga yang sangat jauh
berbeda. Keenam, masih banyak sekali akibat pemberian subsidi harga BBM yang
semuanya bermuara pada ketidakadilan dan pemborosan.
Kenaikan harga
BBM ini menjadi opsi terakhir pemerintah setelah opsi yang ditawarkan
sebelumnya seperti Pemberian subsidi hanya kepada angkutan umum dan sepeda motor
serta konversi dari BBM ke BBG mentah ditengah jalan, memang dilema bagi
pemerintah kita soal harga BBM ini bagai makan buah simalakama, tapi
bagaimanapun pemerintah harus tegas mengambil kebi jakan masalah ini kalau
ingin memperhatikan warga miskinnya, sudah saatnya warga yang berjumlah kurang
lebih 15% dari jumlah penduduk ini mendapat perhatian dan penanganan khusus,
seberapa besar dampak pasti ada dan ini menjadi tugas kita semua untuk
menyelesaikannya. Pro-kontra setiap kebijakan pasti ada, namun yang pasti
pemerintah telah menyiapkan strategi untuk mengatasi dampak yang mungkin
timbul, memang obat itu terasa pait tapi sangat perlu untuk menyehatkan.
Kebijakan harga BBM sudah semestinya tiap tahun ditinjau ulang agar warga tidak
kaget kalau ada kenaikan harga BBM, warga masyarakat harus disadarkan bahwa BBM
merupakan sumber energi yang tidak bisa diperbarui lagi, tiba saatnya nanti
tentu akan habis, kapan lagi kalau tidak dari sekarang melakukan penghematan?.
Ingatan saya
kembali melayang di tahun tujuh puluhan ketika penulis masih jadi pelajar SMA
didaerah Margoyudan Solo, hampir seluruh pelajar ketika itu menggunakan sepeda
bahkan banyak yang jalan kaki untuk kegiatan ke sekolah masing-masing, suasana
jalan benar-benar nyaman, lancar serta udaranya segar sehingga jarak tempuh
pulang pergi sejauh 10 sampai 15 km bukan hal yang memberatkan. Kembali
kemasalah rencana kenaikan harga BBM, sudah semestinya kita tidak hanya
mementingkan diri sendiri, coba tengoklah keadaan pak Kromo dan mbok Tinem
serta jutaan Kromo dan Tinem yang berada di pedesaan, di pinggiran kota,
dibantaran sungai dan pinggiran rel kereta api serta dibawah kolong jembatan
dan dibawah jalan layang, mereka adalah saudara-saudara kita sebangsa dan
setanah air yang kurang beruntung, tidak sepantasnya kita bersikukuh menentang
kebijakan pemerintah dalam mengurangi subsidi BBM (baca:menaikan harga BBM),
sadarlah bahwa semestinya kita bisa hidup nyaman apabila saudara-saudara kita
tersebut juga terentas dari kemiskinan. Kenaikan harga BBM sekian persen tidak
akan menguras kantong kita toh sebenarnya kita juga mampu membeli BBM non
subsidi.
Kepada seluruh
warga masyarakat hendaklah bisa berpikir arif, bagi yang sudah merasa mampu
seyogyanya tidak mengikuti arus menentang kebijakan kenaikan harga BBM ini,
berilah kesempatan pemerintah untuk lebih memikirkan saudara-saudara kita yang
masih tergolong miskin, masih banyak masalah bangsa yang harus kita selesaikan
segera, energi kita jangan terbuang percuma, lihatlah, pemberantasan korupsi
selayaknya mendapat porsi perhatian dan penanganan lebih besar. Sebagai penutup
cobalah kita jawab secara jujur pertanyaan ini: Pantaskah kita masih menerima
subsidi harga BBM?, jawabannya cukup dalam hati nurani saja!.
***