Senin, 15 Oktober 2012

Menyikapi Kenaikan Harga BBM Secara Arif

“Alhamdulillah, akhirnya pemerintah mau memper hatikan wong cilik”, demikian sepotong kalimat dari pak Kromo yang berprofesi sebagai penarik becak di pasar, begitu juga wajah mbok Tinem janda tua buruh cuci dan tenaga srabutan dikampung saya kelihatan lebih semringah ketika mendapat kabar pemerintah akan menaikan harga BBM pada 1 April 2012 tapi juga akan membagikan BLSM bagi warga miskin. Saya sangat terkejut mendengar komentarnya, karena selama ini hampir semua orang mengeluh ketika harga BBM dinaikan bahkan kalangan mahasiswa dan kelompok masyarakat lain menggelar demo besar-besaran akan mengepung istana, didaerah bahkan mobil tanki pembawa BBM disandra. Bagi pak Kromo dan mbok Tinem serta orang sederajat lainnya kehadiran bantuan langsung sementara masyarakat(BLSM) sangat diharapkan, dana yang diambil dari pengurangan subsidi BBM ini  bagai durian runtuh saja meski mereka mendapat jumlah uang dengan nominal yang tak seberapa serta jangka waktu terbatas itu sudah dianggap sangat tepat karena subsidi harga BBM seharusnya dikurangi bahkan dicabut saja karena hanya membebani APBN dan yang menjadi sasaran  bantuan justru orang kaya yang punya mobil atau motor. Subsidi BBM dalam APBN kita dari tahun ketahun terus meningkat tajam seiring kemampuan warga untuk membeli mobil dan motor baik secara tunai maupun kredit. Untuk tahun 2012(RAPBNP) subsidi BBM mencapai Rp.137,38 triliun. Kita tengok saja jalan yang semakin padat dengan jumlah mobil pribadi dan motor baru aneka merek, mereka telah mampu membeli motor bahkan mobil sehingga mereka masuk golongan orang yang sudah kaya yang seharusnya tidak perlu diberi subsidi untuk membeli BBM. Bagi masyarakat miskin di Indonesia yang jumlahnya masih sekitar 32,53 juta orang atau hampir 15% yang tersebar dipelosok desa dan pinggiran kota-kota besar tak pernah ikut demo, karena harga BBM seberapa besarpun mereka tak pernah peduli, mereka tidak pernah tau dan tak pernah mengurusi apa itu subsidi harga BBM, yang mereka pikirkan hanya bagaimana esok bisa dapat kerja dan bisa makan sekeluarga. Bagi para penentang kibijakan pemerintah, setiap kenaikan harga BBM menjadi bahan untuk menyerang pemerintah bahkan kalau mungkin menjatuhkan pemerintah yang sedang berkuasa. Dengan dalih bermacam-macam mereka menentang karena kepen tingannya terganggu.
Coba kita renungkan dalam hati akibat dari kebijakan pemberian subsidi harga BBM yang hampir tidak terkendali ini. Pertama, APBN kita jadi tidak sehat, anggaran yang semestinya bisa digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan orang miskin, membiayai kesehatan rakyat serta membangun infra struktur terpotong habis sehingga ketimpangan kemakmuran warga semakin lama semakin besar, ini tidaklah sehat bagi negara yang menganut dasar keadilan bagi seluruh rakyatnya. Kita runut saja sejarah masa lalu, berbagai macam konflik horisontal sering terjadi disebabkan kesenjangan kemakmuran meski sumbu ledaknya masalah SARA. Kedua, polusi udara di kota sangat tinggi melebihi ambang batas toleransi karena jumlah pertumbuhan kendaraan bermotor yang sangat  cepat, serta polutan dari industri yang kurang terkontrol, ini tidak baik bagi kesehatan seluruh warga tanpa pandang bulu kaya atau miskin. Ketiga, Kemacetan lalu lintas disana sini, bukan hanya di Jakarta, Surabaya dan kota-kota besar lainnya, di Solo saja sudah kita rasakan kemacetan lalu lintas, mereka beranggapan lebih enak bawa mobil atau motor pribadi selain enak tentu saja irit biaya BBMnya, meski kondisi angkutan umum juga menjadi faktor penyebabnya, belum terhitung korban jiwa dari adanya manajemen lalu lintas yang masih belum baik apalagi kondisi jalan semakin terbengkalai. Keempat, kebijakan pemerintah yang belum mengatur besaran kapasitas mesin(cc) mobil dan motor menyumbang andil yang tidak kecil dalam konsumsi BBM. Sekarang industri mobil dan motor selalu mengeluarkan kendaraan jenis baru yang ber cc besar. Kelima, pemberian subsidi BBM menjadi sumber penyelewengan untuk diekspor lagi keluar negeri karena harga yang sangat jauh berbeda. Keenam, masih banyak sekali akibat pemberian subsidi harga BBM yang semuanya bermuara pada ketidakadilan dan pemborosan.
Kenaikan harga BBM ini menjadi opsi terakhir pemerintah setelah opsi yang ditawarkan sebelumnya seperti Pemberian subsidi hanya kepada angkutan umum dan sepeda motor serta konversi dari BBM ke BBG mentah ditengah jalan, memang dilema bagi pemerintah kita soal harga BBM ini bagai makan buah simalakama, tapi bagaimanapun pemerintah harus tegas mengambil kebi jakan masalah ini kalau ingin memperhatikan warga miskinnya, sudah saatnya warga yang berjumlah kurang lebih 15% dari jumlah penduduk ini mendapat perhatian dan penanganan khusus, seberapa besar dampak pasti ada dan ini menjadi tugas kita semua untuk menyelesaikannya. Pro-kontra setiap kebijakan pasti ada, namun yang pasti pemerintah telah menyiapkan strategi untuk mengatasi dampak yang mungkin timbul, memang obat itu terasa pait tapi sangat perlu untuk menyehatkan. Kebijakan harga BBM sudah semestinya tiap tahun ditinjau ulang agar warga tidak kaget kalau ada kenaikan harga BBM, warga masyarakat harus disadarkan bahwa BBM merupakan sumber energi yang tidak bisa diperbarui lagi, tiba saatnya nanti tentu akan habis, kapan lagi kalau tidak dari sekarang melakukan penghematan?.
Ingatan saya kembali melayang di tahun tujuh puluhan ketika penulis masih jadi pelajar SMA didaerah Margoyudan Solo, hampir seluruh pelajar ketika itu menggunakan sepeda bahkan banyak yang jalan kaki untuk kegiatan ke sekolah masing-masing, suasana jalan benar-benar nyaman, lancar serta udaranya segar sehingga jarak tempuh pulang pergi sejauh 10 sampai 15 km bukan hal yang memberatkan. Kembali kemasalah rencana kenaikan harga BBM, sudah semestinya kita tidak hanya mementingkan diri sendiri, coba tengoklah keadaan pak Kromo dan mbok Tinem serta jutaan Kromo dan Tinem yang berada di pedesaan, di pinggiran kota, dibantaran sungai dan pinggiran rel kereta api serta dibawah kolong jembatan dan dibawah jalan layang, mereka adalah saudara-saudara kita sebangsa dan setanah air yang kurang beruntung, tidak sepantasnya kita bersikukuh menentang kebijakan pemerintah dalam mengurangi subsidi BBM (baca:menaikan harga BBM), sadarlah bahwa semestinya kita bisa hidup nyaman apabila saudara-saudara kita tersebut juga terentas dari kemiskinan. Kenaikan harga BBM sekian persen tidak akan menguras kantong kita toh sebenarnya kita juga mampu membeli BBM non subsidi.
Kepada seluruh warga masyarakat hendaklah bisa berpikir arif, bagi yang sudah merasa mampu seyogyanya tidak mengikuti arus menentang kebijakan kenaikan harga BBM ini, berilah kesempatan pemerintah untuk lebih memikirkan saudara-saudara kita yang masih tergolong miskin, masih banyak masalah bangsa yang harus kita selesaikan segera, energi kita jangan terbuang percuma, lihatlah, pemberantasan korupsi selayaknya mendapat porsi perhatian dan penanganan lebih besar. Sebagai penutup cobalah kita jawab secara jujur pertanyaan ini: Pantaskah kita masih menerima subsidi harga BBM?, jawabannya cukup dalam hati nurani saja!.
***