Tulisan ini sengaja saya buat ketika orang
sedang sibuk membicarakan mobil Esemka yang digadang gadang menjadi mobil nasional
(mobnas) meski perjalanan menuju tujuan masih sangat jauh dan rintangan tak
kecil siap menghadang. Kalau kita membicarakan soal mobnas layaknya kita ini
seperti negara yang sudah maju, negara yang kaya raya seluruh penduduknya
makmur yang sedang memilih kendaraan mobil yang akan ditumpangi untuk
keluarganya, padahal keadaan yang sebenarnya adalah sebaliknya, bukankah
demikian?, meski kita akui sudah banyak warga negara yang hidup kaya raya. Tak
usah jauh-jauh melihat ke skala nasional, kita tengok saja keadaan Solo raya
dan sekitarnya. Angka kemiskinan penduduk yang rata-rata dikisaran sepuluh sampai
duapuluh persen seharusnya menjadi perhatian utama dan pertama para pemangku
kebijakan, bagaimana mengentaskan mereka, memecahkan persoalan pendidikan,
kesehatan, pertanian, pengangguran dan sarana infrastruktur yang hancur berantakan seharusnya menjadi prioritas
pertama para pemimpin. Ada rasa keadilan yang diabaikan oleh pemimpin yang
hanya bisa dirasakan orang miskin dan hal ini tidak dirasakan para pemimpin dan
orang yang sudah kaya, jangankan memikirkan apa itu mobnas sedang untuk makan
sehari hari saja mereka masih harus berjuang dari pagi sampai malam memeras
keringat. Kita lihat saja Solo yang sudah sesak dengan gedung bertingkat
menjulang kelangit. Kita telusuri jalan-jalan kota yang mulus serta terang
benderang yang dipenuhi mobil-mobil beraneka merk dengan harga ratusan juta
rupiah. Kita lihat deretan ruko dan super market/mal yang menawarkan aneka
barang mewah belum lagi ratusan hotel yang sudah berdiri dan sedang dibangun di
Solo raya ini, semua menggambarkan bahwa rakyat kita semua sudah makmur padahal
yang terjadi dan mungkin terus akan terjadi adalah proses ketidakadilan yang
mengakibatkan kemiskinan, yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin
miskin. Dari dunia hukum juga tak kalah timpangnya, orang kecil merasakan
tajamnya pisau hukum sementara kalangan atas dan orang kaya bisa membeli
keadilan sesuai keinginan perutnya sendiri. Dibidang kesehatan yang masih
terasakan adalah abainya pemerintah atas pelayanan kesehatan yang merata, seharusnya menjadi
kewajiban pemerintah untuk mencover seluruh biaya kesehatan bagi rakyat tanpa
memandang bulu orang itu miskin, setengah miskin, kecukupan ataupun orang kaya.
Bidang infrastruktur pemerintah hanya membangun jalan-jalan mulus diperkotaan
sementara didaerah pinggiran atau pedalaman jalanan tak ubahnya seperti
kubangan kerbau, jembatan darurat masih banyak digunakan meski sudah berumur
puluhan tahun masih bersatus jembatan darurat, begitu juga masih banyak
desa-desa dipedalaman yang gelap gulita belum tersentuh listrik. Dibidang
perdagangan kita lihat pembangunan supermarket/mal yang terus berlang sung
tanpa memikirkan kelangsungan hidup pasar-pasar tradisional dan warung-warung
kecil diperkampungan. Dibidang
pendidikan masih sering kita dengar dan akan terus kita dengar runtuhnya
bangunan kelas atau gedung sekolah, melebarnya jurang perbedaan kesejahteraan
antara guru berstatus PNS dan guru swasta/WB/kontrak, masih banyak sekali guru
swasta dengan honor beberapa kilogram beras. Dibidang pertanian akan terus kita
dengar harga pupuk yang melambung, harga gabah yang anjlok dan serangan hama
dan kekeringan yang tak tertangani dengan baik. Dibidang sosial akan semakin
kita jumpai orang miskin terlantar, gelandangan, pengemis dan pengamen yang
dirazia tapi tanpa ada solusi pemecahan masalah sosialnya. Dibidang ketenagakerjaan
akan terus terjadi demonstrasi para buruh menuntut kenaikan UMR, penghapusan
sisitem kerja kontrak, PHK tanpa pesangon yang layak. Itulah sebagian gambaran
kecil ketidakadilan yang dirasakan masyarakat, sebaliknya dengan melihat
tayangan televisi maupun membaca media cetak, maupun keadaan yang bisa dilihat dengan
mata telanjang sebagian rakyat yang kaya dan para pejabat serta elite politik
berpesta pora dengan uang rakyat dengan dalih rapat, studi banding, pengadaan
mobil dinas, pembangunan gedung perkantoran baru dan aneka kegiatan
mengada-ada. Para pemimpin tingkat lokal maupun nasional lupa akan salah satu
tujuan kemerdekaan kita yang tercantum dalam pembukaan Undang Undang Dasar 1945
adalah untuk memajukan kesejahteraan umum, sehingga masalah perbedaan
kesejahteraan ini semakin lama semakin jomplang. Belajar sejarah dari masa
lalu, perbedaan kesejahteraan selalu menimbulkan kerawanan-kerawanan sosial
yang kalau tidak tertangani dengan bijak akan mengakibatkan konflik-konflik yang
bedemensi sosial, politik, ekonomi, budaya, agama yang kesemuanya itu hanya
menunggu pemicu saja. Masalah peningkatan kesejahteraan masyarakat Solo raya
haruslah memerlukan penanganan khusus, tidak bisa menggunakan teori-teori
ekonomi seperti membuka pintu lebar-lebar bagi investor dari luar daerah atau
luar negeri untuk masuk ke Solo raya, karena kalau itu yang dilakukan akan
seperti sekarang saja hasilnya. investor besar menggusur pemodal kecil,
tumbuhnya supermarket/mal akan mematikan pedagang kecil dan pasar tradisional,
perusahaan taksi mematikan lahan sopir becak, bank asing akan menggusur bank
swasta kecil, perusahaan minuman berskala internasional akan mematikan pabrik
limun, perusahaan sepatu asing akan menggusur pengrajin- pengrajin sepatu dll. Yang
kita lihat selama ini hanya ketidakadilan. Harus ada perubahan sikap mental
dari para pejabat dan pemangku kepentingan publik, mereka kita pilih dengan
tugas utama mengisi kemerdekaan ini dengan jalan mewujudkan tujuan kemerdekaan
Republik Indonesia seperti yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945: Untuk
melindungi segenap bangsa Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Tapi kenyataan yang kita
rasa dan kita lihat adalah seperti pernyataan diatas: Keadaan tidak
berkeadilan. Persepsi orang miskin terhadap para pemimpinnya memang berbanding
terbalik dengan persepsi orang kaya dan para pejabat, Para pemimpin daerah
sudah saatnya lebih fokus dalam mengentaskan kemiskinan, mengubah sikap mental
dengan mengisi kemerdekaan yang telah diperjuangkan para pendiri kemerdekaan
harus dianggap sebagai hutang yang harus dilunasi sekarang juga ketika para
bupati dan walikota duduk dikursi kekuasaannya, jangan ditunda-tunda, jangan
biarkan rakyat menjadi frustasi, ini sangat berbahaya dan tanda–tanda frustasi
itu kian nampak nyata. Pemimpin tingkat nasional sudah berganti enam kali, para
gubernur juga sudah berganti puluhan kali, apalagi pemimpin lokal seperti
walikota/bupati sudah berganti-ganti, tak selayaknya kemiskinan berada abadi
dinegara yang subur ini. Ingat!, orang miskin yang diabaikan rasa keadilannya
hanya mengenal tiga ”Nga” yaitu Ngalah, Ngalih dan Ngamuk. Mudah-mudahan yang
terakhir ini tidak terjadi lagi di Solo raya.