Senin, 15 Oktober 2012

Koreksi Atas Keadaan Tidak Berkeadilan

Tulisan ini sengaja saya buat ketika orang sedang sibuk membicarakan mobil Esemka yang digadang gadang menjadi mobil nasional (mobnas) meski perjalanan menuju tujuan masih sangat jauh dan rintangan tak kecil siap menghadang. Kalau kita membicarakan soal mobnas layaknya kita ini seperti negara yang sudah maju, negara yang kaya raya seluruh penduduknya makmur yang sedang memilih kendaraan mobil yang akan ditumpangi untuk keluarganya, padahal keadaan yang sebenarnya adalah sebaliknya, bukankah demikian?, meski kita akui sudah banyak warga negara yang hidup kaya raya. Tak usah jauh-jauh melihat ke skala nasional, kita tengok saja keadaan Solo raya dan sekitarnya. Angka kemiskinan penduduk yang rata-rata dikisaran sepuluh sampai duapuluh persen seharusnya menjadi perhatian utama dan pertama para pemangku kebijakan, bagaimana mengentaskan mereka, memecahkan persoalan pendidikan, kesehatan, pertanian, pengangguran dan sarana infrastruktur yang hancur  berantakan seharusnya menjadi prioritas pertama para pemimpin. Ada rasa keadilan yang diabaikan oleh pemimpin yang hanya bisa dirasakan orang miskin dan hal ini tidak dirasakan para pemimpin dan orang yang sudah kaya, jangankan memikirkan apa itu mobnas sedang untuk makan sehari hari saja mereka masih harus berjuang dari pagi sampai malam memeras keringat. Kita lihat saja Solo yang sudah sesak dengan gedung bertingkat menjulang kelangit. Kita telusuri jalan-jalan kota yang mulus serta terang benderang yang dipenuhi mobil-mobil beraneka merk dengan harga ratusan juta rupiah. Kita lihat deretan ruko dan super market/mal yang menawarkan aneka barang mewah belum lagi ratusan hotel yang sudah berdiri dan sedang dibangun di Solo raya ini, semua menggambarkan bahwa rakyat kita semua sudah makmur padahal yang terjadi dan mungkin terus akan terjadi adalah proses ketidakadilan yang mengakibatkan kemiskinan, yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin. Dari dunia hukum juga tak kalah timpangnya, orang kecil merasakan tajamnya pisau hukum sementara kalangan atas dan orang kaya bisa membeli keadilan sesuai keinginan perutnya sendiri. Dibidang kesehatan yang masih terasakan adalah abainya pemerintah atas pelayanan  kesehatan yang merata, seharusnya menjadi kewajiban pemerintah untuk mencover seluruh biaya kesehatan bagi rakyat tanpa memandang bulu orang itu miskin, setengah miskin, kecukupan ataupun orang kaya. Bidang infrastruktur pemerintah hanya membangun jalan-jalan mulus diperkotaan sementara didaerah pinggiran atau pedalaman jalanan tak ubahnya seperti kubangan kerbau, jembatan darurat masih banyak digunakan meski sudah berumur puluhan tahun masih bersatus jembatan darurat, begitu juga masih banyak desa-desa dipedalaman yang gelap gulita belum tersentuh listrik. Dibidang perdagangan kita lihat pembangunan supermarket/mal yang terus berlang sung tanpa memikirkan kelangsungan hidup pasar-pasar tradisional dan warung-warung kecil diperkampungan.  Dibidang pendidikan masih sering kita dengar dan akan terus kita dengar runtuhnya bangunan kelas atau gedung sekolah, melebarnya jurang perbedaan kesejahteraan antara guru berstatus PNS dan guru swasta/WB/kontrak, masih banyak sekali guru swasta dengan honor beberapa kilogram beras. Dibidang pertanian akan terus kita dengar harga pupuk yang melambung, harga gabah yang anjlok dan serangan hama dan kekeringan yang tak tertangani dengan baik. Dibidang sosial akan semakin kita jumpai orang miskin terlantar, gelandangan, pengemis dan pengamen yang dirazia tapi tanpa ada solusi pemecahan masalah sosialnya. Dibidang ketenagakerjaan akan terus terjadi demonstrasi para buruh menuntut kenaikan UMR, penghapusan sisitem kerja kontrak, PHK tanpa pesangon yang layak. Itulah sebagian gambaran kecil ketidakadilan yang dirasakan masyarakat, sebaliknya dengan melihat tayangan televisi maupun membaca media cetak, maupun keadaan yang bisa dilihat dengan mata telanjang sebagian rakyat yang kaya dan para pejabat serta elite politik berpesta pora dengan uang rakyat dengan dalih rapat, studi banding, pengadaan mobil dinas, pembangunan gedung perkantoran baru dan aneka kegiatan mengada-ada. Para pemimpin tingkat lokal maupun nasional lupa akan salah satu tujuan kemerdekaan kita yang tercantum dalam pembukaan Undang Undang Dasar 1945 adalah untuk memajukan kesejahteraan umum, sehingga masalah perbedaan kesejahteraan ini semakin lama semakin jomplang. Belajar sejarah dari masa lalu, perbedaan kesejahteraan selalu menimbulkan kerawanan-kerawanan sosial yang kalau tidak tertangani dengan bijak akan mengakibatkan konflik-konflik yang bedemensi sosial, politik, ekonomi, budaya, agama yang kesemuanya itu hanya menunggu pemicu saja. Masalah peningkatan kesejahteraan masyarakat Solo raya haruslah memerlukan penanganan khusus, tidak bisa menggunakan teori-teori ekonomi seperti membuka pintu lebar-lebar bagi investor dari luar daerah atau luar negeri untuk masuk ke Solo raya, karena kalau itu yang dilakukan akan seperti sekarang saja hasilnya. investor besar menggusur pemodal kecil, tumbuhnya supermarket/mal akan mematikan pedagang kecil dan pasar tradisional, perusahaan taksi mematikan lahan sopir becak, bank asing akan menggusur bank swasta kecil, perusahaan minuman berskala internasional akan mematikan pabrik limun, perusahaan sepatu asing akan menggusur pengrajin- pengrajin sepatu dll. Yang kita lihat selama ini hanya ketidakadilan. Harus ada perubahan sikap mental dari para pejabat dan pemangku kepentingan publik, mereka kita pilih dengan tugas utama mengisi kemerdekaan ini dengan jalan mewujudkan tujuan kemerdekaan Republik Indonesia seperti yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945: Untuk melindungi segenap bangsa Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Tapi kenyataan yang kita rasa dan kita lihat adalah seperti pernyataan diatas: Keadaan tidak berkeadilan. Persepsi orang miskin terhadap para pemimpinnya memang berbanding terbalik dengan persepsi orang kaya dan para pejabat, Para pemimpin daerah sudah saatnya lebih fokus dalam mengentaskan kemiskinan, mengubah sikap mental dengan mengisi kemerdekaan yang telah diperjuangkan para pendiri kemerdekaan harus dianggap sebagai hutang yang harus dilunasi sekarang juga ketika para bupati dan walikota duduk dikursi kekuasaannya, jangan ditunda-tunda, jangan biarkan rakyat menjadi frustasi, ini sangat berbahaya dan tanda–tanda frustasi itu kian nampak nyata. Pemimpin tingkat nasional sudah berganti enam kali, para gubernur juga sudah berganti puluhan kali, apalagi pemimpin lokal seperti walikota/bupati sudah berganti-ganti, tak selayaknya kemiskinan berada abadi dinegara yang subur ini. Ingat!, orang miskin yang diabaikan rasa keadilannya hanya mengenal tiga ”Nga” yaitu Ngalah, Ngalih dan Ngamuk. Mudah-mudahan yang terakhir ini tidak terjadi lagi di Solo raya.