Jumat, 14 Desember 2012

Belajar dari Keping Koin

Hampir enam puluh enam tahun usia kemerdekaan kita, namun apa yang bisa kita pelajari dari gambar koin yang dibuat oleh Bank Indonesia (pemerintah)?. Kita bisa banyak belajar sejarah dari uang kertas yang beredar di Indonesia, gambar para pahlawan mendominasi lembar-lembar uang kertas kita mulai dari nominal kecil sampai yang tertinggi nilainya, maupun gambar aneka flora dan fauna khas Indonesia, namun bagaimana dengan gambar koin kita?. Pahlawan Dipanegara satu-satunya pahlawan yang ada dalam koin Indonesia tahun limapuluhan(1952) dengan nominal 50 sen, selebihnya koin 10 sen (1951) dan 25 sen (1952) dan 50 sen tahun 1958 hanya bergambar lambang negara, sesudah itu koin Indonesia bergambar burung cendrawasih (1971), rumah gadang (1973), rumah gadang dan gunungan (1978) dan aneka burung. Bahkan yang paling fatal gambar lambang negara kita sudah tak nampak lagi. Memang kesan pertama dari uang koin kita adalah nilainya yang kecil, yang hanya pantas dimiliki orang kecil atau sebagai uang kembalian, bahkan diantara kita ada yang merasa malu kalau hanya memiliki uang koin. Sebenarnya dengan uang koin kita dapat belajar tentang berbagai hal khususnya pariwisata atau untuk mengenal para pahlawan kita, misal ada uang koin bergambar candi Borobudur, candi Prambanan, mesjid Istiqlal, atau gereja Katedral atau gambar pura, bukankah ini menunjukan berbagai agama yang ada di Indonesia dan kerukunan umat pemeluknya?. Tak usah jauh-jauh kebelakang kita tengok saja tahun tujuh puluhan, terbit koin dengan nominal:Rp.5,-(1974) bergambar sepasang suami isteri dengan dua orang anak dengan tema  Keluarga berencana, Rp.10,-(1979) bergambar celengan dengan tema menabung untuk menunjang pembangunan, Rp25,-(1971) bergambar burung merpati mahkota, Rp.50,-(1971) bergambar burung cendrawasih, dan Rp.100,-(1973) bergambar rumah gadang dan Rp.100,-(1978) bergambar rumah gadang/gunungan.  Seluruh koin terbitan tahun tujuhpuluhan tidak ada gambar lambang negara. Sepertinya temanya tidak bersambung sama sekali, mestinya kita harus konsisiten kalau tahun tujuhpuluhan menerbitkan koin tentunya temanya harus sama, kalau temanya fauna ya semua harus fauna, kalau temanya flora ya semua harus flora, kalu temanya obyek pariwisata ya semua harus sama. Menginjak tahun sembilan puluhan kembali Indonesia menerbitkan koin baru bergambar Kelapa sawit dengan nominal Rp.1.000,- , bunga Melati dengan nominal Rp.500,- dan Karapan sapi dengan nominal Rp.100,-, lagi-lagi temanya tidak nyambung, flora dengan obyek wisata karapan sapi di Madura, apa hubungannya bunga melati dengan kelapa sawit?, syukur gambar lambang negara kita sudah ada. Sampai dengan tahun 2011, atau lebih dari dua puluh tahunan koin bergambar bunga melati mendominasi koin Indonesia dengan nominal Rp. 500,-. Baru tahun 1999 muncul koin bergambar burung Kakatua raja dengan nominal Rp.100,- dan jalak Bali dengan nominal Rp.200,-. Mungkin wisatawan mancanegara akan tertawa melihat koin kita yang hanya itu-itu saja, mereka akan bertanya siapa pahlawan Indonesia?, mana obyek wisatanya, mana gambar presidennya dan apa hubungan gambar bunga melati dengan sejarah bangsa Indonesia?, jangan-jangan mereka akan mati-matian berusaha membawa pulang burung Jalak Bali dan burung Kakatua raja, padahal kedua burung itu jenis yang dilindungi undang-undang. Kembali akhir tahun 2010 terbit koin dengan nominal Rp.1.000,- bergambar Angklung dan Gedung sate. Seperti ada yang salah dalam perencanaan dan desain pembuatan koin, mestinya dalam periode tertentu misal lima atau sepuluh tahun sekali uang koin harus dibuat baru dengan tema yang berbeda dengan terbitan sebelumnya dan temanya harus selaras. Sudah selayaknya ada koin bergambar presiden Republik Indonesia, apakah gambar presiden dan mantan presiden tidak pantas untuk dikoinkan?, bukankah presiden itu juga presidennya orang-orang kecil yang hanya memiliki kepingan-kepingan uang koin?, tidak ada salahnya kita membuat koin dengan berbagai nilai nominal dari yang rendah sampai yang tinggi sehingga uang koin bisa dihargai semua lapisan masyarakat. Membandingkan koin Indonesia dengan koin dari negara lain rasanya kita akan malu, rasanya kita seperti kekurangan ide untuk membuat koin baru, ambil contoh koin dari negeri jiran Malaysia, koin satu ringgit Malaysia bergambar sebuah keris yang sangat indah sekali dengan bahan logam kuningan, bukankah keris merupakan senjata dan warisan leluhur kita?. Dinegara-negara persemakmuran, gambar ratu Elizabeth mendominasi koin–koin negara tersebut dengan berbagai tingkatan nominalnya, juga para pahlawan dan raja atau presiden juga terpampang dalam koin-koinnya. Sudah saatnya kita meninjau ulang gambar koin yang telah berusia duapuluh tahunan (bunga melati), meski bunga melati lambang kesucian, rasanya kurang pas kalau terus menerus dijadikan gambar koin, bukankah gambar tari Golek, tari Pendet, tari Piring dsb bisa menggantikannya?. Belum kalau kita mau memamerkan obyek wisata alam kita, seperti danau Toba, gunung Merapi, gunung Bromo, kerajaan-kerajan diberbagai daerah sangat perlu ditampilkan dalam koin kita, belum lagi kalau kita mau mengangkat olah raga tradisional kita, pokoknya tidak akan kekurangan bahan kalau kita mau membuat. Jadi tidak hanya alasan membuat koin karena hanya  dikejar inflasi yang selalu menghantui kita.