Selama ini kaum golongan putih (golput) dianggap kaum
yang tak bertanggung jawab, kaum yang tak berpendirian dan seabrek tuduhan
negatif lain, benarkah mereka demikiian?. Fenomena golput atau tak memberikan
suara dalam suatu kegiatan pemilu atau pilkada dari tahun ketahun selalu
meningkat, siapa yang salah?. Tak mudah
mengurai penyebabnya, bisa saja para golput merasa tak pernah diajak(diundang)
sosialisasi masalah pemilu/pilkada atau memang kaum golput tak melihat calon
yang disodorkan tidak ada yang memenuhi kriterianya.
Sejak Departemen Penerangan dibubarkan, tugas sosialisasi
pemilu dan sejenisnya tak tergarap dengan baik. Lembaga baru seperti kementrian
Komunikasi dan Informatika serta dinas-dinas Komunikasi didaerah-daerah banyak
yang bersifat pasif. Kementrian dan dinas-dinas Komunikasi tersebut lebih tepat
disebut gudang informasi (pasif) yang sifatnya hanya melayani masyarakat yang
datang mencari informasi.
Bukan berarti penulis tak menghargai peran Kementrian dan
dinas Komunikasi ini, namun fakta menunjukkan bahwa kehadiran petugas juru
Penerang (Jupen) sangat diharapkan kehadirannya didesa-desa dan daerah
pelosok/terpencil. Jangan anggap semua warga masyarakat telah melek informasi,
jangan anggap semua warga mampu beli koran dan bisa mengikuti pemberitaan radio
atau televisi. Berbeda dengan zaman dahulu ketika Departemen Penerangan masih
ada, dengan segala sarana dan prasarana yang ada Departemen Penerangan
mengerahkan segala sumber daya yang ada untuk mengajak mesyarakat untuk datang
ke TPS(Tempat Pemungutan Suara) memberikan suaranya. Sehingga keberadaan golput
jaman dulu hanya sedikit sekali.
Kini jaman telah berubah, Pemilu, Pilpres dan Pilkada
hampir menjadi kegiatan rutin yang hampir bersamaan tahunnya. Masyarakat sudah
menjadi jenuh dengan ajang pesta pora demokrasi ini. Selain menguras dana APBN
dan APBD, situasi tegang dan mencemaskan kerap menghantui hati rakyat. Apalagi
hasil perbaikan taraf hidup warga tak terwujud sehingga banyak warga masyarakat
semakin memilih tidak menghadiri TPS.
Kini pelaksanaan Pilpres, Pilkada dan Pilihan Legislaif
tak ubahnya perebutan kekuasaan dan ajang mengeruk duit rakyat. Mereka berani
mengeluarjkan dana yang tak sedikit dengan harapan kelak dapat kembali modal
dan mendapatkan hasil.
Tindak korupsi yang dilakukan pemimpin dan para wakil
rakyat sudah menjadi perbuatan vulgar yang setiap hari bisa disaksikan dan
didengar rakyat, sehingga perbuatan memilih calon dalam ajang pesta demokrasi
itu hanya melanggengkan budaya korupsi.
Maka anggapan negatif kepada kaum golput tak relevan
lagi. Jadi kalau ada pemimpin dan legislator yang menjadi koruptor justru para
pemilih yang perlu disalahkan, ”Tuh,... lihat hasil karya pilihanmu yang kau
anggap hebat!”. Kesimpulannya golput adalah juga tindakan yang mulia karena
mereka tidak(belum) menemukan calon pilihan yang sesuai dengan kriterianya.
Untuk itu pantas diucapkan selamat kepada para pemilih
yang hadir mendatangai TPS dan selamat juga kepada kaum golput karena mereka
tidak memilih juga berdasarkan hati nuraninya.
***