Jumat, 15 Maret 2013

Transparansi Dalam Promosi Jabatan

Aroma tak sedap menyeruak dilingkungan pemerintah kota Surakarta (Solo), penyebabnya adalah beredar sebuah SMS yang menanyakan kepada kepala BKD berapa tarip suatu jabatan tertentu. Bukan kali ini saja dan bukan hanya dllingkungan pemerintah kota Solo saja, didaerah lain/kabupaten di Solo Raya bahkan di Indonesia suatu acara promosi dan pelantikan jabatan apalagi yang menyangkut jumlah yang sangat besar selalu menimbulkan pro kontra dan puas tidak puas. Mengapa hal ini bisa terjadi dan terus terjadi?. Mungkin  jawaban yang tepat salah satu penyebabnya adalah kurangnya transparansi dalam menentukan pejabat. Telah kita ketahui bersama bahwa jumlah jabatan tak sebanding lagi dengan jumlah PNS yang memenuhi syarat dalam berbagai jenjang jabatan baik eselon II,III,dan IV  di suatu daerah Kota/kabupaten. Kini para PNS yang ”merasa” memenuhi persyaratan harus bersaing dengan teman sejawat. Sungguh mulia apabila persaingan itu dilakukan dengan jiwa kesatria dengan cara menunjukakn kinerja serta kedispinan yang baik, tapi kebanyakan justru sebagian PNS memilih jalan pintas yang tidak terhormat dengan cara mencari jalan lain yang lebih simpel, maka ujung-ujungnya akan timbul apa yang dirisaukan selama ini terjadi, suburnya makelar jabatan atau makelar mutasi(marmut). Tak dipungkiri sejak dulu jabatan adalah sesuatu yang sangat bergengsi dan prestisius, maka para penguasa/penentu jabatan ada yang memanfaatkan ini sebagai celah-celah mencari rejeki tambahan/pemberian hadiah kepada orang yang telah berjasa. Sejak otonomi daerah berlaku, para bupati dan walikota adalah raja-raja kecil yang sangat berkuasa didaerahnya, segala keputusan penentuan pejabat ada ditangannya secara mutlak, meski untuk jabatan eselon II masih harus mendapat persetujuan dari provinsi.
Transparansi
Kini tuntutan publik khususnya para PNS perihal penentuan jabatan harus transparan, praktek-praktek model lama harus ditinggalkan karena ujung-ujungnya akan merugikan masya rakat secara umum karena mendapat pelayanan dari pejabat/staf yang tidak prima. Bukan rahasia lagi, kalau diera Pilkada Langsung banyak PNS meski secara sembunyi-sembunyi menjadi Tim sukses calon bupati/walikota dengan harapan mendapat imbalan kedudukan yang diinginkan. Begitu pula orang-orang diluar jajaran birokrat yang merasa telah berjasa mengusung calonnya menjadi bupati/walikota akan bermain dalam penentuan jabatan ini. Maka untuk menghindari hal tersebut perlu dilakukan langkah-langkah sbb: pertama, harus kembali ke aturan yang selama ini ada namun diabaikan, yaitu DUK (Daftar Urut Kepangkatan). DUK harus dipasang dipapan pengumuman secara terbuka. Kebiasaan selama ini DUK tak pernah ditempel dipapan pengumuman baik unit kerja maupun BKD (Badan Kepegawaian Daerah). Untuk DUK tingkat SKPD semestinya ditempel dipapan pengumuman unit kerja yang bersangkutan, sehingga setiap PNS di unit kerja tersebut bisa membaca berada  dinomor berapa dirinya. Begitu pula pihak BKD, semestinya membuat DUK yang berupa rangkuman dari berbagai SKPD tentunya yang telah memenui syarat untuk dipromosikan, jadi semua bisa terbaca secara jelas. Meski DUK hanya merupakan salah satu syarat untuk menentukan pejabat, namun hal ini tak bisa diabaikan begitu saja, karena gejolak awal dari ketidak puasan bersumber dari sini. Kedua usulan calon pejabat harus berjenjang dari eselon terbawah (untuk staf yang akan dipromosikan menduduki eselon IV harus mendapat pertimbangan pejabat eselon IV yang membawahi langsung), karena merekalah yang mengetahui kinerja stafnya yang akan dipromosikan. Suatu promosi jabatan harus diusulkan dari kepala SKPD, dan kepala SKPD harus mendapat masukan dari pejabat dibawahnya (Kabid) dan seorang kabid harus mendapat pertimbangan dari Kasinya karena merekalah yang mengetahui kinerja staf yang akan dipromosikan. Begitu pula usulan pejabat yang akan menduduki eselon III, harus mendapat pertimbangan eselon diatasnya (Kepala SKPD). Begitu pula usulan pejabat eselon II harus dari pejabat yang telah menduduki eselon II diatasnya dalam hal ini Sekda. Jadi kalau ada seseorang yang merasa memenuhi syarat kok tidak diusulkan mendapat promosi, maka kepala SKPD harus bisa memberikan keterangan sebab musabanya secara terbuka dan bertanggung jawab. Di era sekarang ketika kesempatan memperoleh pendidikan terbuka lebar, kesempatan memperoleh jabatan harus lebih selektif tak bisa lagi atas dasar like and dislike, atau atas dasar DUK yang lain (daftar urut kedekatan/Kekeluargaan/Keuangan), dan tak bisa lagi sese orang diusulkan melangkahi calon lain yang berada diatasnya (dalam DUK). Ketiga, uji kompetensi perlu diadakan. Persyaratan lain yang lebih dominan adalah kompetensi seseorang dalam menjalankan tugas, di era derasnya tuntutan masyarakat akan pelayanan prima dan pelayanan bermutu sekarang ini, sudah sepantasnya setiap PNS yang akan dipromosikan menduduki jabatan harus dipilih dari hasil seleksi uji kompetensi dari lembaga yang independen. Hal ini selain untuk mendapatkan calon yang berkualitas juga untuk meminimalkan suara-suara sumbang dari orang yang tidak merasa puas. Apabilka uji kompetensi ini betul-betul netral dilakukan oleh pihak independen, maka setiap calon yang gagal akan bisa menerima kekalahan secara legawa, dan mau memperbaiki diri dengan cara bekerja dan belajar. Keempat, fungsi Baperjakat harus dimaksimalkan, tak jamannya lagi Baperjakat hanya sebagai tukang saji masakan yang menyodorkan nama calon kepada pengambil keputusan. Baperjakat harus berani memberi masukan dengan segala alasan yang masuk akal sesuai aturan hukum dan pertimbangan yang nalar, sehingga kasus–kasus lompat jabatan tak ada lagi.
Kasus Pemkot Surakarta
Sangat bijakasana kalau mutasi dan promosi untuk sementara ditunda dulu, bagaimanapun keberadaan wakil walikota yang masih kosong perlu dipertimbangkan, apalagi sementara ini ada isu yang santer meski kebenarannya perlu dipertanyakan bahwa ketika jamannya Jokowi, penentuan pejabat yang menduduki orang pertama (Lurah, Camat, Kepala SKPD) menjadi wewenang Jokowi sedang selebihnya ada ditangan Wawali. Begitu pula peranan Baperjakat hanya sebagai tukang saji masakan.  Jabatan Fungsional
Dulu pernah ada wacana untuk menambah jabatan fungsional diberbagai SKPD, namun dalam kenyataannya sampai sekarang belum berjalan, hanya saja karena ketidak jelasan  mengenai jabatan fungsional ini banyak PNS yang tidak tertarik, dan lebih suka mengincar jabatan Strutural yang dianggap lebih bergengsi apalagi persyaratan untuk menduduki jabatan struktural khususnya eselon Iv.a dan IV.b relatif mudah, maka jabatan inilah yang menjadi ladang perburuan yang akhirnya melahirkan profesi baru sebagai marmut (makelar mutasi). Kini tinggal bagaimana niat para pengambil keputusan, mau mentradisikan model lama yang selalu menimbulkan gejolak, atau memperbaiki dengan cara baru yang lebih fair, karena bagaimanapun kepuasan kerja seorang PNS baik staf maupun pejabat sangat mempengaruhi kinerjanya dilapangan.