Aroma tak sedap menyeruak dilingkungan pemerintah kota Surakarta (Solo),
penyebabnya adalah beredar sebuah SMS yang menanyakan kepada kepala BKD berapa
tarip suatu jabatan tertentu. Bukan kali ini saja dan bukan hanya dllingkungan
pemerintah kota Solo saja, didaerah lain/kabupaten di Solo Raya bahkan di
Indonesia suatu acara promosi dan pelantikan jabatan apalagi yang menyangkut
jumlah yang sangat besar selalu menimbulkan pro kontra dan puas tidak puas.
Mengapa hal ini bisa terjadi dan terus terjadi?. Mungkin jawaban yang tepat salah satu penyebabnya
adalah kurangnya transparansi dalam menentukan pejabat. Telah kita ketahui
bersama bahwa jumlah jabatan tak sebanding lagi dengan jumlah PNS yang memenuhi
syarat dalam berbagai jenjang jabatan baik eselon II,III,dan IV di suatu daerah Kota/kabupaten. Kini para PNS
yang ”merasa” memenuhi persyaratan harus bersaing dengan teman sejawat. Sungguh
mulia apabila persaingan itu dilakukan dengan jiwa kesatria dengan cara
menunjukakn kinerja serta kedispinan yang baik, tapi kebanyakan justru sebagian
PNS memilih jalan pintas yang tidak terhormat dengan cara mencari jalan lain
yang lebih simpel, maka ujung-ujungnya akan timbul apa yang dirisaukan selama
ini terjadi, suburnya makelar jabatan atau makelar mutasi(marmut). Tak
dipungkiri sejak dulu jabatan adalah sesuatu yang sangat bergengsi dan
prestisius, maka para penguasa/penentu jabatan ada yang memanfaatkan ini
sebagai celah-celah mencari rejeki tambahan/pemberian hadiah kepada orang yang
telah berjasa. Sejak otonomi daerah berlaku, para bupati dan walikota adalah
raja-raja kecil yang sangat berkuasa didaerahnya, segala keputusan penentuan
pejabat ada ditangannya secara mutlak, meski untuk jabatan eselon II masih
harus mendapat persetujuan dari provinsi.
Transparansi
Kini tuntutan publik khususnya para PNS perihal penentuan jabatan harus
transparan, praktek-praktek model lama harus ditinggalkan karena ujung-ujungnya
akan merugikan masya rakat secara umum karena mendapat pelayanan dari pejabat/staf
yang tidak prima. Bukan rahasia lagi, kalau diera Pilkada Langsung banyak PNS
meski secara sembunyi-sembunyi menjadi Tim sukses calon bupati/walikota dengan
harapan mendapat imbalan kedudukan yang diinginkan. Begitu pula orang-orang
diluar jajaran birokrat yang merasa telah berjasa mengusung calonnya menjadi
bupati/walikota akan bermain dalam penentuan jabatan ini. Maka untuk
menghindari hal tersebut perlu dilakukan langkah-langkah sbb: pertama, harus
kembali ke aturan yang selama ini ada namun diabaikan, yaitu DUK (Daftar Urut
Kepangkatan). DUK harus dipasang dipapan pengumuman secara terbuka. Kebiasaan
selama ini DUK tak pernah ditempel dipapan pengumuman baik unit kerja maupun
BKD (Badan Kepegawaian Daerah). Untuk DUK tingkat SKPD semestinya ditempel
dipapan pengumuman unit kerja yang bersangkutan, sehingga setiap PNS di unit
kerja tersebut bisa membaca berada
dinomor berapa dirinya. Begitu pula pihak BKD, semestinya membuat DUK
yang berupa rangkuman dari berbagai SKPD tentunya yang telah memenui syarat
untuk dipromosikan, jadi semua bisa terbaca secara jelas. Meski DUK hanya
merupakan salah satu syarat untuk menentukan pejabat, namun hal ini tak bisa
diabaikan begitu saja, karena gejolak awal dari ketidak puasan bersumber dari
sini. Kedua usulan calon pejabat harus berjenjang dari eselon terbawah (untuk
staf yang akan dipromosikan menduduki eselon IV harus mendapat pertimbangan
pejabat eselon IV yang membawahi langsung), karena merekalah yang mengetahui
kinerja stafnya yang akan dipromosikan. Suatu promosi jabatan harus diusulkan
dari kepala SKPD, dan kepala SKPD harus mendapat masukan dari pejabat
dibawahnya (Kabid) dan seorang kabid harus mendapat pertimbangan dari Kasinya
karena merekalah yang mengetahui kinerja staf yang akan dipromosikan. Begitu
pula usulan pejabat yang akan menduduki eselon III, harus mendapat pertimbangan
eselon diatasnya (Kepala SKPD). Begitu pula usulan pejabat eselon II harus dari
pejabat yang telah menduduki eselon II diatasnya dalam hal ini Sekda. Jadi
kalau ada seseorang yang merasa memenuhi syarat kok tidak diusulkan mendapat
promosi, maka kepala SKPD harus bisa memberikan keterangan sebab musabanya
secara terbuka dan bertanggung jawab. Di era sekarang ketika kesempatan
memperoleh pendidikan terbuka lebar, kesempatan memperoleh jabatan harus lebih
selektif tak bisa lagi atas dasar like
and dislike, atau atas dasar DUK yang lain (daftar urut
kedekatan/Kekeluargaan/Keuangan), dan tak bisa lagi sese orang diusulkan
melangkahi calon lain yang berada diatasnya (dalam DUK). Ketiga, uji kompetensi
perlu diadakan. Persyaratan lain yang lebih dominan adalah kompetensi seseorang
dalam menjalankan tugas, di era derasnya tuntutan masyarakat akan pelayanan
prima dan pelayanan bermutu sekarang ini, sudah sepantasnya setiap PNS yang
akan dipromosikan menduduki jabatan harus dipilih dari hasil seleksi uji
kompetensi dari lembaga yang independen. Hal ini selain untuk mendapatkan calon
yang berkualitas juga untuk meminimalkan suara-suara sumbang dari orang yang
tidak merasa puas. Apabilka uji kompetensi ini betul-betul netral dilakukan
oleh pihak independen, maka setiap calon yang gagal akan bisa menerima
kekalahan secara legawa, dan mau
memperbaiki diri dengan cara bekerja dan belajar. Keempat, fungsi Baperjakat
harus dimaksimalkan, tak jamannya lagi Baperjakat hanya sebagai tukang saji
masakan yang menyodorkan nama calon kepada pengambil keputusan. Baperjakat
harus berani memberi masukan dengan segala alasan yang masuk akal sesuai aturan
hukum dan pertimbangan yang nalar, sehingga kasus–kasus lompat jabatan tak ada
lagi.
Kasus Pemkot Surakarta
Sangat bijakasana kalau mutasi dan promosi untuk sementara ditunda dulu,
bagaimanapun keberadaan wakil walikota yang masih kosong perlu dipertimbangkan,
apalagi sementara ini ada isu yang santer meski kebenarannya perlu
dipertanyakan bahwa ketika jamannya Jokowi, penentuan pejabat yang menduduki
orang pertama (Lurah, Camat, Kepala SKPD) menjadi wewenang Jokowi sedang
selebihnya ada ditangan Wawali. Begitu pula peranan Baperjakat hanya sebagai
tukang saji masakan. Jabatan Fungsional
Dulu pernah ada wacana untuk menambah jabatan fungsional diberbagai SKPD,
namun dalam kenyataannya sampai sekarang belum berjalan, hanya saja karena
ketidak jelasan mengenai jabatan
fungsional ini banyak PNS yang tidak tertarik, dan lebih suka mengincar jabatan
Strutural yang dianggap lebih bergengsi apalagi persyaratan untuk menduduki
jabatan struktural khususnya eselon Iv.a dan IV.b relatif mudah, maka jabatan
inilah yang menjadi ladang perburuan yang akhirnya melahirkan profesi baru
sebagai marmut (makelar mutasi). Kini tinggal bagaimana niat para pengambil
keputusan, mau mentradisikan model lama yang selalu menimbulkan gejolak, atau
memperbaiki dengan cara baru yang lebih fair, karena bagaimanapun kepuasan
kerja seorang PNS baik staf maupun pejabat sangat mempengaruhi kinerjanya
dilapangan.